Sudah sebulan aku mengisolasi
diriku didalam kamar lembab ini. Ya, hanya sendiri. Aku sedang menjalani
kehidupan layaknya mayat hidup. Sudah habis kemauanku untuk keluar dari sini sambil
menatap dunia yang penuh warna dan memikirkan cita-cita apa yang harus kukejar
diusia mudaku. Tahun lalu masih. Dan sejak hari terkutuk itu aku mulai menarik
diriku pelan-pelan, dari seorang muda dengan semangat berapi-api, menjadi seorang
penyendiri yang duduk menghabiskan hari dengan rasa sakit.
Aku menyebut hari itu sebagai hari
terkutuk dalam hidupku karena menurut dokter aku terkena kanker tenggorokan.
Terkutuk karena ia menghentikan langkahku untuk mengejar impianku menjadi
penyanyi. Terkutuk karena sekarang aku mengerang kesakitan dan tidak tahu harus
berbuat apa selain meratapi nasib.
Masih jelas dalam ingatanku
saat-saat dimana hasrat mudaku mengantarkanku ke ruang-ruang audisi;
mendaftarkan diri sebagai calon bintang; bernyanyi dari panggung kecil satu ke
panggung kecil lainnya; memperdengarkan rekamanku ke studio-studio dan dengan
percaya diri menganggap pita suaraku sebagai anugerah yang harus aku rawat,
sampai akhirnya langkahku terhenti sama sekali- bahkan disaat aku belum meraih
apa-apa.
Aku mau menyalahkan dia. Orang yang
dulu kusebut sebagai teman. Dialah yang memperkenalkanku dengan sebatang rokok…kemudian
naik menjadi dua batang perhari… lalu sebungkus… dan lama-lama aku
ketagihan. Aku tidak tahu dari mana
anggapanku, tetapi sekarang aku melihat ini adalah bagian dari kelicikannya
untuk menjauhkanku dari karir yang hendak kucapai. Pita suaraku rusak
seluruhnya. Dan dia? dia kini hidup bebas dengan impiannya, sedangkan aku?
Sedikit lagi maka aku benar-benar menjadi mayat.
Temanku itu harus mendapat balasan yang sama.
Sama seperti zombie yang menggigit
untuk memindahkan virus ke tubuh orang lain, maka aku ingin dia menderita, persis
seperti aku.
Balas dendam…ya! Balas dendam. Senjata
yang akan kugunakan bukan berasal dari gigitanku, tapi rokok. Benar! Dia harus
menderita juga karena rokok.
Maka aku mulai berpikir permainan apa
yang harus kubuat…
Hari Pertama
Untungnya aku masih punya simpanan
uang dari pentas terakhirku. Selebihnya sudah habis kugunakan untuk berobat
kesana kemari. Ideku lantas mengajakku menggunakan uang tersebut untuk
membelikan sesuatu bagi teman terbaikku itu. Sekotak cerutu bermerek produksi luar
negeri yang kupesan dari sebuah toko online.
Harganya tidak murah. Tapi bagiku, harga itu tidak akan sebanding dengan kepuasanku
nanti. Lengkap dengan bungkusan menarik, kualamatkan langsung kerumahnya,
berharap agar ia tertarik untuk mencobanya. Dan diam-diam kumata-matai
aktivitasnya lewat jejaring sosial. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang
akan terjadi padanya.
Hari Kedua
Sialan! Tidak ada berita bagus yang
kudapat pada beranda pertemananku dengannya di dunia maya. Sebaliknya, kulihat
ia memposting gambar bahwa ia sedang berlatih band dengan antusiasnya. Rasa dendamku semakin bertambah. Seharusnya
aku yang berada diposisi itu. Ia sudah mencuri suaraku. Apa lagi yang bisa
kulakukan. Berteriak dalam kamar sepi ini untuk melampiaskan kekesalanku justru
hanya akan memperparah nyeri di tenggorokanku.
Hari Ketiga
Apa aku telah salah menulis alamat
rumah? Kenapa ia tidak menyinggung sedikitpun kalau ia menerima hadiah dariku? Biasanya
hal itu sering dilakukannya kalau ia menerima pemberian orang lain. Dengan
bangganya ia akan memamerkan kepada orang-orang yang membaca statusnya kalau ia
sedang memiliki ini, memiliki itu. Tapi kali ini kenapa tidak kubaca hal serupa
pada layar telepon genggamku? Apa ia tahu dengan rencana yang sudah kususun?
Tidak adil! Ia harus menghisap cerutu itu. Ia harus menghisapnya sampai habis.
Ia juga harus merasakan perih, kering dan panasnya tenggorakan ini. Harus!
Seminggu Kemudian
Sia-sia saja. Aku dibuatnya lelah
menguntit apa yang sedang dikerjakan olehnya dari pagi hingga malam, kemudian
pagi lagi. Begitu seterusnya selama tujuh hari berjalan. Aku menyerah dengan
dendamku. Karena faktanya ia malah semakin bahagia diluar sana. Aku semakin
sakit hati membaca kabar-kabar yang ditulisnya bahwa ia menerima kontrak
tawaran dari sebuah label. Coba kalau tidak kuikuti nafsu merokokku saat itu
sekalipun ia menawariku. Jelas aku bisa lebih baik dari dia. Tapi apa kini
dayaku? Aku memang ingin sembuh. Aku memang ingin menyudahi dendamku. Aku ingin
punya kehidupan lagi. Tapi semuanya terlambat bagiku. Suaraku pelan-pelan
memudar. Aku semakin kurus, bibirku hitam, mataku sayu, rambutku acak-acakan.
Kuku-kuku di tangan dan kakiku menguning. Aku hampir utuh menjadi zombie. Dan persis seperti dalam
film-film, aku terpukul kalah oleh lawanku yang seharusnya menjadi “korban
gigitanku”.
Sebulan Kemudian
Kupegang handphone
ditanganku dengan tangan gemetar. Kondisiku semakin melemah.
Tulang-tulangku semakin kelihatan saja karena menahan sakit berkepanjangan. Kubuka
akun jaringan pertemananku sebagai penghilang suntukku selama ini. Apa lagi
yang bisa kulakukan untuk menghibur diriku? Menampakkan diriku keluar dari
bangunan ini? Orang-orang pasti akan lari melihatku. Leherku bengkak dan
berwarna merah, kadang ada darah menetes keluar dari mulutku kalau aku berbatuk
keras. Jelas aku sudah mencapai tingkat kepenuhanku sebagai zombie. Virus itu berhasil merusak jaringan-jaringan
ditenggorokanku dan sebentar lagi akan meluas. Mungkin saja hingga ke otakku.
Itu sebabnya aku menghabiskan detik-detik terakhirku dengan cara yang kusenangi.
Memandangi foto-foto masa laluku bersama teman-temanku sambil membaca
kabar-kabar terbaru dari mereka. Tapi bagaimanapun, selalu saja timbul rasa
iri, terutama dengan kesehatan mereka. Mereka bebas ke mall sambil tertawa lepas, aku disini hanya bisa mengeluarkan
senyum kecil karena kalau aku tertawa pasti seluruh rongga dalam leherku
seperti ditusuk. Mereka bebas menyantap
apa saja sambil memamerkan lewat gambar: gue
sedang lunch. Sedangkan aku? Air
putih yang kutelan rasanya pahit. Sepahit kenyataan yang harus kujalani. Aku
memang sudah tidak memendam dendam atas penderitaanku ini. Tidak lagi. Sampai sejenak
mataku terhenti pada tulisan yang baru saja kubaca.
Tuhan,
Kenapa Harus Adik Saya? demikian bunyi tulisan itu.
Diketik dari seberang sana oleh seseorang yang pernah menjadi sasaran
kemarahanku. Aku penasaran tentang kejadian apa yang sedang menimpanya.
Kuputuskan akan mengikuti perkembangan dirinya lewat jaringan pertemanan ini lagi
Tiga Bulan Kemudian
Virus itu semakin menyebar. Ia
merusak jaringan tenggorokanku. Bahasaku kini hanya berbentuk raungan. Semua
yang melekat pada penampilan luarku juga telah berbeda 360 derajat. Aku bahkan
ngeri dengan diriku. Keuangan kosong memperparah keadaanku. Tapi itu belum seberapa. Aku benar-benar
merasa diriku sesosok zombie saat
mengetahui kalau aku sudah mendapatkan korban.
Yah, akulah biang utama seseorang terkena
virus yang kurang lebih sama denganku. Bedanya ia menyerang bagian paru-paru
orang itu. Aku menjadi penyebab seorang tanpa salah mengidap kanker paru-paru. Itulah
alasan kenapa tiga bulan ini kuhabiskan untuk
menguntit perkembangan mereka. Ya, memang benar dugaanmu. Yang kumaksud dengan mereka
adalah dia dan adiknya. Dia yang pernah kuinginkan kematiannya sayangnya justru
adiknya yang perlahan-lahan akan menjadi mayat hidup seperti aku. Rupanya
sekotak cerutu yang pernah kukirimkan itu diterima oleh adiknya. Diam-diam
remaja belia dengan rasa ingin tahu yang besar ini menggunakannya di dalam
kamarnya. Dia ketagihan menghisapnya, bahkan setelah itu dia berpindah dari
merek rokok yang satu ke merek rokok yang lain.
Aku merasa berdosa. “Gigitanku” telah
salah sasaran. Aku menciptakan kematian pada orang yang tidak layak
menerimanya. Untuk menebusnya aku kini berjanji, disisa hidupku ini aku akan
menggunakan fasilitas-fasilitas pertemanan secara elektronik yang ada untuk
menyerukan tentang bahaya rokok pada orang-orang di luar sana. Kuharap pesan
ini juga bisa sampai kepadamu bila dengan senang hati ada yang mengirimnya
secara berantai. Tunggu saja di inboks-mu,
karena aku tidak mau virus ini nantinya merusak organ-organmu juga.
Dari aku, si Zombi Garet.